Dunia mengenal tokoh yang satu ini sebagai seorang intelektual serta
penulis ternama di bidang agama, filsafat, maupun sejarah. Maryam
Jameela, demikian nama muslimnya. Ia telah menghasilkan sejumlah karya
yang cukup penting dalam khazanah pemikiran Islam, antara lain Islam and
Western Society: A Refutation of the Modern Way of Life, Islam and
Orientalis, Islam in Theory and Practice, dan 'Islam and the Muslim
Woman Today'.
Salah satu hal yang patut dicatat dari
tulisan-tulisan serta pemikiran Maryam Jameela, adalah keyakinannya
terhadap agama Islam yang dinilainya sebagai agama terbaik. Islam
merupakan agama dengan keunggulan paripurna, sehingga merupakan
satu-satunya jalan untuk menuju kehidupan lebih baik, baik di dunia
maupun akhirat.
Melalui karyanya, Maryam ingin menyebarkan
keyakinannya itu kepada segenap umat Muslim di seluruh dunia. Harapannya
adalah agar umat semakin percaya diri untuk dapat mendayagunakan
keunggulan-keunggulan agama Islam tersebut demi meraih kejayaan di
berbagai bidang kehidupan.
Sikap dan pemikiran yang ‘trengginas’
itu tampaknya tak bisa dilepaskan dari latar belakang kehidupan
cendekiawan ini. Sejatinya, wanita kelahiran 23 Mei 1934 tersebut adalah
seorang Yahudi. Keislamannya berlangsung ketika masih berusia remaja.
Ia
menyandang nama Margareth Marcus sebelum memeluk Islam. Berasal dari
keluarga Yahudi, Margareth dibesarkan dalam lingkungan yang multietnis
di New York, Amerika Serikat. Nenek moyangnya berkebangsaan Jerman.
"Keluarga kami telah tinggal di Jerman selama empat generasi dan
kemudian berasimilasi ke Amerika," papar Maryam, dalam buku Islam and
Orientalism .
Margareth kecil sangat menyukai musik, terutama
simphoni dan klasik. Prestasinya pada mata pelajaran musik pun cukup
membanggakan karena selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Hingga
suatu hari dia mendengarkan musik Arab di radio, dan langsung jatuh
hati.
Kian hari dirinya makin menyukai jenis musik ini. Margareth
pun tak sungkan meminta kepada ibunya agar dibelikan rekaman musik Arab
di sebuah toko milik imigran Suriah. Sampai akhirnya, dia mendengar
tilawah Alquran dari sebuah masjid yang berada tak jauh dari tempat
tinggalnya di kota New York.
Margareth merasa ada kemiripan
bahasa antara musik Arab dan Alquran tadi. Akan tetapi, yang didengarnya
di masjid, jauh lebih merdu. Sehingga, demi untuk menikmati keindahan
lantunan ayat-ayar Alquran itu, Margaret kecil rela menghabiskan waktu
untuk duduk di depan masjid .
Ketika beranjak dewasa, barulah
Margareth mengetahui bahwa pelantun irama yang merdu dan telah
membuainya semenjak kecil, adalah pemeluk agama Islam. Sedikit demi
sedikit dia lantas berusaha mencari informasi tentang Islam, tanpa
pretensi apapun terhadap agama ini.
Persinggungan yang semakin
intens dengan Islam baru terjadi saat menempuh pendidikan di New York
University. Usianya 18 tahun kala itu. Pada tahun keduanya, Margareth
mengikuti mata kuliah Judaism in Islam karena ingin mempelajari Islam
secara formal.
Setiap perkuliahan, sang dosen kerap menjelaskan
bahwa Islam merupakan agama yang diadopsi dari agama Yahudi. Segala yang
baik dalam Islam pada dasarnya berasal dari kitab Perjanjian Lama,
Talmud dan Midrash. Tak jarang pula diputar film-film tentang propaganda
Yahudi. Intinya, yang dipaparkan di ruang kuliah sering kali
menunjukkan inferioritas Islam dan umat Muslim.
Akan tetapi,
Margareth tidak begitu saja termakan indoktrinasi ini. Dia merasa ada
yang aneh dengan segala penjelasan tadi karena terkesan menyudutkan.
Dirinya merasa tertantang untuk membuktikan bahwa segala yang
diterimanya di perkuliahan ini lebih bernuansa kebencian kepada Islam.
Margareth
menyediakan waktu, pikiran dan tenaga yang cukup panjang untuk
mempelajari Islam secara mendalam, sekaligus membandingkannya dengan
ajaran Yahudi. Apa yang terjadi? Dia justru banyak melihat kekeliruan
dalam agama Yahudi, sebaliknya menemukan kebenaran pada Islam.
Hasil
penelaahannnya dicurahkan dalam suratnya kepada Abul A'la al-Mawdudi,
seorang ulama besar Pakistan. Di situ sia menulis, “Pada kitab
Perjanjian Lama memang terdapat konsep-konsep universal tentang Tuhan
dan moral luhur seperti diajarkan para nabi, namun agama Yahudi selalu
mempertahankan karakter kesukuan dan kebangsaan. Sebagian besar pemimpin
Yahudi memandang Tuhan sebagai agen real estate yang membagi-bagikan
lahan untuk keuntungan sendiri. Maka, walau perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi Israel sangat pesat, namun kemajuan material
yang dikombinasikan dengan moralitas kesukuan ini adalah suatu ancaman
bagi perdamaian dunia."
Kecintaan Margareth kepada Islam tak
terbendung lagi. Dirinya semakin mantap untuk memilih Islam sebagai
jalan hidup. Akhirnya ketika berusia 19 tahun, Margareth resmi memeluk
Islam, tepatnya pada tahun 1961. Dia mengganti namanya menjadi Maryam
Jameela.
Seperti tertera dalam buku Islam and Orientalism,
sebenarnya keinginan menjadi mualaf sudah sejak jauh-jauh hari, akan
tetapi selalu dihalangi keluarganya. Mereka menakut-nakutinya dengan
mengatakan bahwa umat Islam tidak akan bersedia menerimanya karena
berasal dari keturunan Yahudi.
Namun, Margareth tidak gentar, dan
dia mampu membuktikan bahwa apa yang dikatakan keluarganya tidaklah
benar. Umat Muslim justru menyambutnya dengan hangat. Keputusan beralih
menjadi Muslimah, diakuinya kemudian, juga turut dipengaruhi oleh
kekagumannya pada dua karya terkenal dari Mohammad Assad, yakni The Road
to Mecca dan Islam at Crossroad .
Setelah berislam, dia
mengalami semacam transformasi pola pikir yang dia istilahkan sebagai
‘transformation from a kafir mind into a Muslim mind’ (transfomasi dari
pikiran kafir ke pikiran Muslim). Menurut Maryam, perubahan pola pikir
yang memengaruhi perilaku dan tutur kata dalam kehidupan sehari-hari,
akan terjadi bila seseorang memasuki ruang keislaman. Ada perbedaan
mendasar antara pemikiran dari seorang Muslim dan kafir.
Tak lama
setelah itu, Maryam memulai kegiatan penuangan ide, gagasan dan
pemikirannya sebagai penulis tetap pada majalah Muslim Digest terbitan
Durban, Afrika Selatan. Artikel-artikelnya kerap menekankan inti ajaran
tentang akhlak, takwa dan iman, serta kebenaran dalam agama Allah SWT.
Dan melalui aktivitas di jurnal itu, dia semakin akrab dengan Mawlana
Sayid Abu Ala Mawdudi, pendiri Jamaati Islami (Partai Islam) Pakistan,
yang juga kontributor di jurnal yang sama.
Maryam sangat terkesan
dengan karya dan pemikiran-pemikiran Mawdudi, sehingga memutuskan untuk
berkorespondensi. Surat-menyurat antara keduanya dilakukan pada kurun
waktu 1960 dan 1962, dan kemudian dibukukan dengan judul
Correspondences Between Mawlana Mawdoodi and Maryam Jameela . Keduanya
saling berdiskusi tentang banyak hal terkait kehidupan umat Muslim,
hubungan Islam dan Barat, serta masih banyak lagi.
Sebenarnya,
beberapa saat sebelum memeluk Islam, Maryam Jameela sudah aktif menulis
sejumlah artikel yang intinya membela Islam. Dia juga gencar mengkritik
berbagai paham modern yang seolah hendak dipaksakan untuk diterapkan
kepada masyarakat Islam.
Atas undangan Mawdudi, di tahun 1962,
Maryam datang ke Pakistan. Tak sekadar berkunjung, dia bahkan disarankan
untuk menetap di Lahore agar bisa lebih fokus pada aktivitas
intelektualnya. Beberapa waktu kemudian, dia menikah dengan Muhammad
Yusuf Khan.
Sejak menetap di Pakistan, Maryam menghasilkan
sejumlah karya yang berpengaruh, termasuk dalam menerjemahkan ideologi
Jamaati Islami dengan bahasa yang sistematis sehingga diterima secara
luas. Meski tidak secara formal terlibat dalam partai itu, Maryam adalah
salah satu pembela paling gigih terhadap paham dan ideologi Jamaati
Islami. Hingga kini, Maryam masih tinggal di Pakistan dan terus
berkarya.
SUMBER BACAAN : REPUBLIKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar